Semua tulisan yang dimuat adalah hasil asli karya siswa. Untuk menjaga keaslian tersebut, maka kami tidak melakukan editing bahasa.

09 Agustus 2008

Semangat Baru



Oleh Nur Isnaini Romli


Pagi indahpun datang
matahari yang selalu memancarkan sinarnya
dan burung yang berkicau dengan suara yang merdu
menambah indah hari ini

Tak terkecuali satu kebahagiaan yang datang
sekolah menantiku dengan hari yang baru
kulihat banyak perubahan yang hadir
yang membuatku mempunyai semangat baru

Ku ingin hari ini lebih baik dari sebelumnya
dengan membuat prestasi demi prestasi
dan kuingin membuat kata baru
"Sekolah Baru, Semangat Baru"
»» Selengkapnya

21 Juli 2008

Buaya yang Tidak Jujur


Ada sebuah sungai di pinggir hutan. Di sungai itu hiduplah sekelompok buaya. Buaya itu ada yang berwarna putih, hitam, dan belang-belang. Meskipun warna kulit mereka berbeda, mereka selalu hidup rukun.
Di antara buaya-buaya itu ada seekor yang badannya paling besar. Ia menjadi raja bagi kelompok buaya tersebut. Raja buaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dicintai rakyatnya.
Suatu ketika terjadi musim kemarau yang amat panjang. Rumput-rumput di tepi hutan mulai menguning. Sungai-sungai mulai surut airnya. Binatang-binatang pemakan rumput banyak yang mati.
Begitu juga dengan buaya-buaya. Mereka sulit mencari daging segar. Kelaparan mulai menimpa keluarga buaya. Satu per satu buaya itu mati.

Setiap hari ada saja buaya yang menghadap raja. Mereka melaporkan bencana yang dialami warga buaya. Ketika menerima laporan tersebut, hati raja buaya merasa sedih.
Untung Raja Buaya masih memiliki beberapa ekor rusa dan sapi. Ia ingin membagi-bagikan daging itu kepada rakyatnya.

Raja Buaya kemudian memanggil Buaya Putih. Dan Buaya Hitam. Raja Buaya lalu berkata, “Aku tugaskan kepada kalian berdua untuk membagi-bagikan daging. Setiap pagi kalian mengambil daging di tempat ini. Bagikan daging itu kepada teman-temanmu!”
“Hamba siap melaksanakan perintah Paduka Raja,” jawab Buaya Hitam dan putih serempak.
“Mulai hari ini kerjakan tugas itu!”perintah Raja Buaya lagi.
Kedua Buaya itu segera memohon diri. Mereka segera mengambil daging yang telah disediakan. Tidak lama kemudian mereka pergi membagi-bagikan daging itu.

Buaya Putih membagikan makanan secara adil. Tidak ada satu buaya pun yang tidak mendapat bagian. Berbeda dengan Buaya Hitam, daging yang seharusnya dibagi-bagikan, justru dimakannya sendiri. Badan Buaya Hitam itu semakin gemuk.
Selesai membagi-bagikan daging, Buaya Putih dan Buaya Hitam kembali menghadap raja.
“Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik, Paduka,” lapor Buaya Putih.
“Bagus! Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan baik,” puji Raja.
Suatu hari setelah membagikan makanan,Buaya Putih mampir ke tempat Buaya Hitam. Ia terkejut karena di sana-sini banyak bangkai buaya.

Sementara tidak jauh dari tempat itu Buaya Hitam tampak sedang asyik menikmati makanan. Buaya Putih lalu mendekati Buaya Hitam.
“Kamu makan jatah makanan temen-teman, ya?”
“Kamu biarkan mereka kelaparan!” ujar Buaya Putih.
“Jangan menuduh seenaknya!” tangkis Buaya Hitam.
“Tapi, lihatlah apa yang ada di depanmu itu!” sahut Buaya Putih sambil menunjuk seekor buaya yang mati tergeletak.
“Itu urusanku, engkau jangan ikut campur! Aku memang telah memakan jatah mereka. engkau mau apa?” tantang Buaya Hitam.
“Kurang ajar!” ujar Buaya Putih sambil menyerang Buaya Hitam. Perkelahian pun tidak dapat dielakkan. Kedua buaya itu bertarung seru. Akhirnya, Buaya Hitam dapat dikalahkan.
Buaya Hitam lalu dibawa kehadapan Raja. Beberapa buaya ikut mengiringi perjalanan mereka. Di hadapan Sang Raja, Buaya Putih segera melaporkan kelakuan Buaya Hitam. Buaya Hitam lalu mendapat hukuman mati karena kejahatannya itu.

“Buaya Putih, engkau telah berlaku jujur, adil, serta patuh. Maka kelak setelah aku tiada, engkaulah yang berhak menjadi raja menggantikanku,” demikian titah Sang Raja kepada Buaya Putih.

Karya : Devara Putri
Kelas : IV B
Sekolah : SD Argentina Jakarta
(diambil dari http://naila.rad.net.id)
»» Selengkapnya

10 Juni 2008

Mewarnai Tema: "Sumber Energi"




Karya: Abdullah


Karya: Agung Priambudi


Karya: Angga Andrio P


Karya: Ockas Firdaus Salasa


Karya: Farianza Yahya Ali
»» Selengkapnya

14 April 2008

CIA, SI PERI COKLAT

Cia adalah seorang anak peri. Namun Cia belum juga mempunyai kekuatan.
“Bu, kenapa Cia nggak dapat kekuatan dari Ratu Bidadari?” tanya Cia kepada ibunya yang baru pulang.
“Cia, ibu kan sudah pernah bilang. Seorang peri baru akan mendapatkan kekuatan kalau sudah berusia 10 tahun. Padahal kan Cia baru berusia 9 tahun 5 bulan dan 3 hari,” jawab ibunya.
“Lalu?”
“Ya.. Cia harus menunggu beberapa bulan lagi untuk punya kekuatan,” jawab ibunya sambil mengelus kepala Cia.

Beberapa bulan kemudian..
“Bu... sekarang umur Cia berapa?” tanya Cia.
“Wah... umur Cia sudah 10 tahun. Ayo sana ke rumah Ratu Bidadari” kata ibu menyemangati.
Tanpa basa-basi, Cia melesat menuju rumah Ratu Bidadari.
“Ratu Bidadari...” panggil Cia.
“Eh Cia. Ada apa?”
“Mmmm.. aku ingin menjadi Peri Cokelat,” kata Cia mantap.
“Nggak salah tuh.. kenapa nggak jadi peri gigi? Kan lebih bermanfaat bagi manusia,” kata Ratu Bidadari kurang setuju dengan permintaan Cia.
“Nggak! Pokoknya peri cokelat! Peri cokelat kan baik, bisa ngasih cokelat ke anak-anak lain, tapi cokelatnya nggak habis,” Cia bersikeras ingin menjadi peri cokelat.
“Baiklah. Tapi, Ratu akan memberi Cia waktu 1 bulan untuk berubah pikiran,” kata Ratu Bidadari tidak bisa menolak permintaan Cia.
“Sekali peri cokelat tetap peri cokelat! Mana sertifikat dan tongkatnya?” bentak Cia.
“Ini tongkat perinya. Tapi sertifikatnya 1 bulan lagi ya,” kata Ratu Bidadari.
“Baik!”

Keesokan harinya.
“Bu, Cia pergi dulu ya, mau mengunjungi anak-anak manusia,” kata Cia pada ibunya.
“Ya... eh tunggu dulu. Cia jadi peri apa sih, kok belum bilang ke Ibu?” tanya ibu penasaran.
“Peri Cokelat,” kata Cia mantap.
Peri cokelat? Kenapa Ratu Bidadari memberikan kekuatan pada Cia menjadi Peri Cokelat? tanya ibu dalam hati. Akh biarlah, Ratu Bidadari tak mungkin salah, gumam ibu.
Dan Cia pun pergi ke sebuah bangunan yang banyak terdapat anak kecil.
“Hai anak-anak Tk yang lucu. Kenalkan.. aku Cia si peri cokelat. Kalian mau cokelat nggak?” kata Cia pada mereka.
“Banyak nggak?”
“Tentu saja! Berapapun yang kalian minta. Gratis..tis..tis!”
“Hole! Kak Cia baik. Makacih ya kak” kata anak-anak itu sambil lari menyerbu cokelat Cia.
“Besok kalau mau lagi, kesini ya. Kak Cia akah bawakan lebih banyak lagi,” kata Cia senang dan terbang ke negeri peri.

Sesampainya di rumah.
“Gimana, sukses mainnya?” tanya ibu saat Cia datang.
“Sukses berat. Anak-anak TK itu suka sama Cia,” kata Cia bangga.
“Ada berapa anak?”
“Sekitar 15 anak.”
“Trus.. cokelat yang Cia kasih, berapa?” tanya ibu lagi.
“Kayaknya 45 batang cokelat. Satu anak dapat 3 batang cokelat yang panjangnya 20 cm. Kok ibu tanya terus sih?” Cia balik bertanya.
“Nggak papa.. tapi... Cia harus berpikir. Nanti kalau pada sakit gigi gimana? Cia yang akan dihukum lho,” nasehat ibu.
“Ah.. dihukum siapa? Ibu? Ibu kan baik. Ratu Bidadari? Dia kan yang kasih Cia kekuatan jadi peri cokelat. E..ngg.. manusia? Cia kan bisa kabur,” bantah Cia. Ibu diam tidak bisa berkata lagi.

Esoknya, Cia kembali mengunjungi anak-anak TK.
“Nih.. Cia bawa cokelat lebih banyak. Masing-masing dapat 5 batang ya,” kata Cia. Dia membawa 75 batang cokelat!
“Wah... makacih kak Cia. Kak Cia pintal.. bisa ngacih sama banyak,” puji anak-anak TK itu. Cia tersenyum bangga.

Satu minggu telah berlalu. Cia makin akrab dengan teman-teman TK-nya. Namun pada hari ke-8...
“Ibu.. itu yang namanya kak Cia,” kata seorang anak sambil memegang pipinya.
“Huh.. dasar anak nakal! Beraninya memberi anakku cokelat. Nggak ijin ibunya lagi,” seorang ibu memukulkan tasnya ke Cia.
Ternyata bukan hanya ibu tadi yang memukul Cia. Beberapa ibu dan bapak berlari mengejar Cia dan hendak memukulnya, sampai akhirnya seorang ibu tidak tega melihatnya dan menghentikan para ibu dan bapak yang mengejar dan memukul Cia.
“Sudah.. sudah! Cukup memukulnya! Jangan sampai anak peri ini mati!”
“Hik..hik..hik. Sakit!” Cia menangis tersedu-sedu sambil memegangi sayapnya yang robek di sana-sini.
“Cia, jangan cengeng dong. Anak ibu kan harus kuat,” seseorang berusaha menghibur Cia.
“Mmm... ibu,” tatap Cia malu.
“Tuh.. akibatnya. Ibu kan sudah bilang, kamu akan dihukum.. dipukuli orang tua anak-anak TK itu. Nah sekarang, Cia masih mau menjadi peri cokelat?” tanya ibu.
“Maafin Cia ya, Bu. Cia nggak nurut kata-kata ibu dan Ratu Bidadari. Cia telah seenaknya membagikan cokelat ke anak-anak TK itu. Padahal Cia belum cukup pintar untuk menjadi peri cokelat. Untuk menebus kesalahan Cia, Cia mau jadi peri gigi,” kata Cia penuh penyesalan.
“Nah.. itu baru anak baik,” puji ibunya.
“Ratu bidadari.. Cia minta maaf atas sikap Cia selama ini. Cia mau kok jadi peri gigi. Dan Cia siap mengikuti ujian dari Ratu Bidadari untuk bisa menjadi peri Gigi.”
“Cia, kamu boleh mengikuti ujian dariku kapan saja kamu mau,” jawab Ratu Bidadari.
Setelah beberapa minggu Cia belajar dan mengikuti ujian dari Ratu Bidadari, ia menjadi murid terpandai kedua di kelas peri gigi. Selain bertambah pintar, ia juga bertambah baik hati dan tangkas. Setiap malam, Cia mengunjungi anak-anak yang pernah diberinya cokelat dan menyelipkan pasta ajaib dan sikat giginya, disertai sebuah tulisan: “Dipakai setiap hari 2 kali setelah makan dan sebelum tidur. Tertanda: Cia si Peri Gigi.”

Karya: Anisa Dyah P (siswa kelas VI Khadijah)

»» Selengkapnya

22 Maret 2008

Selamat Tinggal Sahabat

“Wah.. gak terasa capeknya pagi hari ini. Tapi aku nggak boleh nggak masuk hari ini, hari pertama aku masuk sekolah,” pikir Risa.
“Risa. Risa. Ayo mandi, jangan melamun saja?” kata Umi mengingatkan.
“Iya.. , Umi.”
Teng..teng.. teng. Tanda bel masuk berbunyi. Risa cepat-cepat masuk ke kelasnya. Tak sengaja di tangga ia bertemu sahabatnya, Ida.
“Hai Risa,” sapa Ida.
“Hai Ida, lama kita tidak bertemu ya,” kata Risa balik menyapa.
“Iya, liburan kali ini rasanya cepat sekali ya.”
“Hei cepat dong. Kalau bicara jangan di jalan!” gerutu seseorang.
“Eh i..iya. Maaf. Yuk Da, kita ke kelas,” ajak Risa sambil menggandeng tangan temannya.
Sebelum mengikuti pelajaran, para murid dan juga guru berdoa dulu agar pelajaran yang dilaksanakan berjalan dengan lancar. Allahumma alhimni rusydi wa’ahidni min syarri nafsi (Ya Allah, berilah aku ilham kecerdasan dan lindungilah aku dari kejahatan hawa nafsuku).
Teng..teng..teng..
Bel berbunyi lagi, tanda waktu istirahat telah tiba. Semua pelajaran dihentikan dan para siswa diperbolehkan untuk jajan.
“Risa aku ingin bicara sama kamu. Ada waktu tidak?” tanya Ida.
“Kalau untuk kamu sih, aku punya waktu luang yang banyak. Tapi kamu mau bicara tentang apa?” kata Risa penasaran.
“Ayo ikut aku ke tempat yang sepi,” ajak Ida.
Risa pun mengikuti perintah Ida.
“Risa, sebenarnya aku ingin bicara sama kamu, tapi aku takut persahabatan kita akan putus,” kata Ida.
“Maksudmu apa sih? Aku nggak ngerti maksudmu,” jawab Risa bingung.
“Aku tahu kamu bingung. Aku juga tahu jika besok kamu akan bersedih. Selamat tinggal sahabatku,” kata Ida sambil meninggalkan Risa yang kebingungan.
“Da.. Ida! Tunggu, Da. Aku masih belum ngerti yang kamu bicarakan,” teriak Risa masih dalam kebingunngannya.
Ketika waktu pelajaran, Risa tidak m endengarkan apa yang diterangkan gurunya. Ia masih bingung apa maksud kalimat Ida waktu istirahat tadi.
Keesokan harinya...
“Anak-anak, mulai hari ini temanmu Aida sudah tidak sekolah di sini. Ia pindah sekolah,” kata bu guru memberi pengumuman. Kelas hening dan tangispun terdengar. Barulah Risa mengerti kalimat yang diungkapkan sahabatnya, Ida.
Selamat tinggal sahabat.. kamu memang sahabatku yang terbaik. Aku nggak akan melupakanmu. Dan Risa pun menangis.

Karya: Anisa K (Kelas V Sumayyah)
»» Selengkapnya